Buy My Themes? EMail Me! WA:+675-78213007 Hello Guest! Not Registered?  Log in or   Register
  • All About
    • Background
    • New Guinea
    • Customary Laws
    • Laws of the Nature
    • Organnisation
    • About SAPA
      • The Objectives of SAPA
      • Core Programmes of SAPA
      • Core Values & Programmes
      • SAPA Core Values
      • Work Programme
  • Wilayah Adat Papua
    • Wilayah Budaya Di Tanah Papua
    •  Kabupaten/ Kota se – Tanah Papua
  • Indonesian
    • Tujuan Hukum Alam
    • Macam-macam sumber hukum formal
    • Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
    • Tujuan Hukum
    • Hukum Alam
    • Hukum Positiv
    • Surat Permohonan SAPA ke KesbangPol Kota Jayapura
  • Contact
  • Key Docs
    • Surat Permohonan SAPA ke KesbangPol Kota Jayapura
    • SAPA Core Values
    • Core Programmes of SAPA

Sahabat Alam Papua - SAPA

Follow the Laws of the Nature

    »  Masyarakat adat dan LSM kaji RTRW Papua
You are Very Welcome Guest!
 | Page 2
 results 11 - 20 of about 119 for * . (0.387 seconds) 
  • Hukum Adat
  • Hukum Alam
    • The Nature
  • Hukum Ilahi
  • Conservation
    • Ilmu Alam
  • Thursday December 5th, 2019

Recent Cats

  • RSS  Conservation  ( 10 )
  • RSS  Hukum Adat  ( 39 )
  • RSS  Hukum Alam  ( 37 )
  • RSS  Hukum Ilahi  ( 12 )
  • RSS  Ilmu Alam  ( 2 )
  • RSS  The Nature  ( 2 )
  • RSS  Uncategorized  ( 28 )

All Updates RSS

Archives

  • May 2019 (3)
  • February 2019 (2)
  • December 2018 (2)
  • October 2018 (2)
  • September 2018 (11)
  • August 2018 (7)
  • June 2018 (3)
  • May 2018 (2)
  • March 2018 (1)
  • February 2018 (4)

Categories

  • Conservation (10)
  • Hukum Adat (39)
  • Hukum Alam (37)
  • Hukum Ilahi (12)
  • Ilmu Alam (2)
  • The Nature (2)
  • Uncategorized (28)

Image Stream

Pilih Hidup Sederhana di Pedalaman Banten, Suku Baduy Tolak Mentah-mentah Dana Desa Rp 2,5 MiliarIlustrasi, burung langka asal Papua yang gagal diselundupkan – Jubi/Tempo.coKetua STIH Manokwari, Filep Wamafma saat memberikan buku HUkum Adat Arfak dan Wondama kepada Dewan Adat dan perwakilan MRP Papua Barat - Jubi/ISTHutan sagu - Dok. Jubi
Browse: Page 2

Masyarakat adat dan LSM kaji RTRW Papua

Published on September 13, 2018 © by admin [119  entries]  ± Views 49 § Leave a comment

Direktur Yayasan INTSIA, Bastian Wamafma (kanan) ketika memberi keterangan kepada Jubi di Abepura, Kamis, 13 September 2018 - Jubi/Timo Marten

Direktur Yayasan INTSIA, Bastian Wamafma (kanan) ketika memberi keterangan kepada Jubi di Abepura, Kamis, 13 September 2018 - Jubi/Timo Marten

Jayapura, Jubi - Yayasan INTSIA bersama Solidaritas Organisasi Sipil (SOS) Papua sebagai mitra The Asia Foundation (TAF) melakukan workshop bersama sejumlah LSM untuk mengkaji, analisis, dan merekomendasikan sejumlah hal, untuk meninjau kembali Peraturan Daerah (Perda) Nomor 23 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Papua.

Perda RTRW dinilai belum mengakomodir kepentingan masyarakat adat sehingga harus di-review kembali. Dengan itu, mereka akan dilibatkan dalam perencanaan tata ruang wilayah.

Direktur Yayasan INTSIA, Bastian Wamafma, mengatakan kegiatan ini dilakukan selama tiga hari, 12-15 September 2018. Para peserta dihadiri Kipra, LBH Papua, Jerat Papua, Jurusan Planologi USTJ, PTPPMA, masyarakat adat Namblong, dan sejumlah LSM lainnya.

“Hari pertama kita bahas tentang penjelasan tata ruang. Lalu bagaimana peran masyarakat sipil untuk mempengaruhi dalam kebijakan tata ruang,” kata Wamafma kepada Jubi di Abepura, Kota Jayapura, Kamis (13/9/2018).

Selanjutnya, hari kedua, pihaknya memfokuskan pada analisis untuk menghasilkan rekomendasi-rekomendasi penjelasan tata ruang wilayah. Rekomendasi itu akan diberikan kepada pemerintah.

“Sementara masih analisa. Rekomendasikan besok (Jumat, 14/9)). Sebenarnnya ada RTRW. Tapi dalam aturan itu belum ada keterlibatan masyarakat adat,” katanya.

Manajer Program Yayasan INTSIA, Yosep Watopa, mengatakan ada tiga isu yang menjadi rekomendasi nanti. Pertama, isu keruangan. Ini berkaitan dengan pemanfaatan ruang, apakah konsisten dengan RTRW atau tidak.

Misalnya investasi pada ruang budidaya, investasi sawit, apakah betul di HPK atau masuk di kawasan hutan lindung, sehingga itu dianalisa.

“Apakah konsisten dengan Perda bahwa Provinsi Papua akan mempertahankan 60 persen kawasan lindung dan 90 persen kawasan hutan,” kata Watopa.

Kedua, lanjutnya,menganalisis peraturan perundang-undangan. Misalnya Perdasus Nomor 22 yang membicarakan tentang hak ulayat masyarakat adat. Hal ini akan dimasukkan untuk rekomendasi.

“Kelompok ketiga, bicara tentang kekhususan, karena Provinsi Papua Otsus sehingga RTRW harus ada kekhususan, yakni tentang masyarakat adat, hak-hak mereka, dan perannya dalam penyususan, perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian RTRW.

“Itu juga nanti dimasukkan dalam Perda, karena perda tidak menyebutkan posisi, peran, hak dan kewajiban masyarakat adat. Menyangkut sistem sonasi yang mesti diakomodir dalam RTRW,” katanya.

Ketua Dewan Adat Suku (DAS) Orya Distrik Unurum Guay, Matias Sanggra, mengatakan di wilayah adatnya masih ada hutan lindung dan hutan HPH. Beberapa perusahaan masih beroperasi di sana.

Di distrik dengan enam kampung ini, masyarakat ingin mencabut HPH, tetapi mengalami kendala, karena harus melalui Dinas Kehutanan.

“Ini menjadi kendala. Kami masukkan kegiatan harus melalui perusahaan ini,” katanya. (*)

¶ Conservation (10) ‡ INTSIA, RTRW, tata-ruang  ¶  post |  Length: [445] words. [entry-last-modified]

Tempat-tempat keramat Suku Besar Yerisiam Gua terus saja dibabat

Published on September 13, 2018 © by admin [119  entries]  ± Views 29 § Leave a comment

Yuliana Akubar, Plt. Kepala sub suku Sarakwari Suku Besar Yerisiam Gua. Jubi/Titus Ruban.

Yuliana Akubar, Plt. Kepala sub suku Sarakwari Suku Besar Yerisiam Gua. Jubi/Titus Ruban.

Nabire, Jubi – Hutan milik Suku Besar Yerisiam Gua terus dibabat habis, termasuk tempat-tempat keramat dan dusun sagu. Perusahaan Sawit, perusahaan pembuat jalan dan jembatan ikut andil.

Ada ribuan pohon sagu yang kini berganti pohon sawit milik PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Adi Perkasa. Padahal dusun sagu tersebut merupakan peninggalan leluhur. Dari 25 ribu Ha lahan sawit saat ini, ada hampir 15 ribu Ha merupakan dusun sagu yang di dalamnya terdapat beberapa tempat keramat, karena dahulu pernah dijadikan tempat tinggal  empat sub suku yang ada.

Padahal Dusun Sagu merupakan lumbung makanan utama bagi suku ini.

Kini, satu bukit yang dipercaya pernah menjadi tempat tinggal sub suku Sarakwari, Suku Besar Yerisiam Gua, juga tidak luput dari perusakan yang dilakukan oleh satu perusahaan pembuat jalan. Nama bukit itu Akudjama.

PT. Dewa Kresna, perusahaan yang mengerjakan jalan Trans Nabire - Wasior melakukan penggusuran di salah satu bukit yang dianggap keramat oleh sub Suku Sarakwari.

Perusahaan tersebut, diketahui sudah melakukan pekerjaan jalan dan jembatan khususnya jalan trans nasional, hampir 15 tahun terakhir.

Bukit Akudjama, menurut sub Suku Sarakwari merupakan tempat yang dikeramatkan. Dulu, moyang dan leluhur mereka pernah menjadikan tempat ini sebagai perkampungan. Sebelum akhirnya berpindah ke kampung Sima, seperti saat ini.

Plt. Kepala sub suku Sarakwari, Yuliana Akubar mengatakan telah mendengar kabar jika bukit tersebut telah dihancurkan untuk pembangunan jalan. Dia pun bersama beberapa orang mengecek ke lokasi.

“Dan ternyata benar (dirusak). Di bukit itu, ada dua batu tempat moyang duduk-duduk,” ujarnya saat ditemui Jubi. Rabu (12/9/2018).

Setelah melihatnya langsung, pihaknya kemudian menghentikan pekerja jalan. Mereka meminta ada pembicaraan terlebih dahulu dengan pimpinan perusahaan.

“Kami mau tanyakan ke perusahaan, kenapa sampai bukit ini digusur. Siapa yang suruh. Sebab tempat ini kami jaga, tidak boleh siapapun tebang pohon sembarang, karena kami anggap keramat . Kami mau jaga turun temurun,” jelasnya.

Menurut dia, perusahaan seenaknya masuk serobot tanpa ada koordinasi dengan tua-tua adat setempat. Perusahaan langsung datang sulap tanap adat jadi kebun sawit atau jalan.

“Kami heran, semua yang datang tidak pernah bicara dengan tua-tua adat, kaget-kaget hutan sudah habis,” katanya.

Ketua Badan Musyawarah Adat (BMA) Suku Besar Yerisiam Gua, Ayub Kowoi mengatakan pihaknya akan menyurati pemerintah dan DPRD Nabire untuk memediasi pertemuan antara masyarakat dengan pihak perusahaan, untuk memertanyakan dan meminta pertanggungjawaban mereka.

“Karena sudah rusak hutan maka harus dipertanggung jawabkan,” katanya.

Hingga berita ini diturunkan, Jubi belum berhasil menemui PT Dewa Kresna untuk mengkonfirmasikan hal tersebut. (*)

¶ Hukum Adat (39), Hukum Alam (37) ‡ hutan sagu (3), Nabire (2), penebangan hutan (2), suku Yerisiam (2), tempat keramat  ¶  post |  Length: [454] words. [entry-last-modified]

Bupati Jayapura bicara kebangkitan masyarakat adat di Global Climate Forum

Published on September 13, 2018 © by admin [119  entries]  ± Views 8 § Leave a comment

Sentani, Jubi - Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, diundang sebagai pembicara di Global Climate Forum (GCF), bersama masyarakat adat sedunia dan seluruh gubernur pemilik hutan terluas di dunia, dalam kegiatan pertemuan tahunan GCF 2018 yang membicarakan terkait pemanasan global.

Pada kegiatan yang berlangsung di San Frasisco Amerika Serikat, 10-13 Sepetember 2018, Bupati Jayapura mendapat kesepatan berbicara pada 12 September malam (waktu setempat) dan menyampaikan program kebangkitan masyarakat adat di Kabupaten Jayapura.

Bupati Jayapura melalui pesan singkatnya mengatakan melalui materi yang disampaikan, masyarakat adat dari seluruh penjuru dunia sangat menyambut baik dan memberikan apresiasi terhadap kebangkitan masyarakat adat di Kabupaten Jayapura serta pembentukan gugus tugas pemetaan sembilan wilayah adat.

“Masyarakat adat dunia memberikan apresiasi terhadap apa yang saya sampaikan berkaitan dengan kebangkitan masyarakat adat, hak-hak dasar, serta pemetaan wilayah adat di Kabupaten Jayapura dan Papua pada umumnya. Ternyata di Papua, khususnya Kabupaten Jayapura, ketika berbicara masyarakat adat, kita masih yang terbaik,” ujar Bupati Awoitauw.

Ketua Dewan adat Suku (DAS) Sentani, Demas Tokoro, yang dikonfirmasi terkait hal ini, mengaku sangat berterima kasih kepada Bupati Jayapura yang begitu intens melihat dan memperhatikan benar apa yang sedang dilaksanakan sebagai pimpinan daerah.

“Menurut saya, ini sesuatu yang luar biasa. Dalam pertemuan tingkat dunia, persoalan hak-hak dasar masyarakat adat dibicarakan di sana melalui pimpinan daerah kita. Hal ini berarti pemerintah daerah sangat serius dengan program kebangkitan masyarakat adat di daerah ini,” jelasnya. (*)

¶ Conservation (10) ‡ Bupati Jayapura, Global Climate Forum, kampung adat (5), konferensi MADAT  ¶  post |  Length: [237] words. [entry-last-modified]

DAP Nabire dan Suku Besar Wate sepakat tidak lagi jadi bagian Meepago

Published on September 13, 2018 © by admin [119  entries]  ± Views 12 § Leave a comment

Nabire, Jubi – Dewan Adat Papua (DAP) wilayah Nabire, bersama Suku Besar Wate, bersepakat untuk tidak lagi masuk jadi bagian wilayah adat Meepago.

“Tujuh wilayah adat merupakan perwakilan kultur dan budaya orang Papua, sudah melalui ekspedisi sejak jaman Belanda dan sudah diteliti, wilayah-wilayah tersebut dengan berbagai budayanya masing-masing,” ujar Ktua DAP Nabire, Herman Sayori usai menghadiri Raker Suku besar Wate,Senin (10/9/2018) lalu.

Dikatakan Sayori, ketujuh wilayah adat itu punya ciri-ciri khas masing-masing. Dari cara berpakaian adat, mencari makan dan lain sebagainya..

Menurutnya, Nabire masuk di wilayah Saereri yang cara berpakaiannya menggunakan Cidako (Takorai).

“Maka kita di Nabire tidak bisa diklaim dan disebut masuk menjadi wilayah Meepago. Itu keliru,” jelasnya.

Lanjutnya, akibatnya selama ini masyarakat Nabire kehilangan hak-haknya. hak politik, budaya, ekonomi.

“Maka kita keluar bukan dengan cara memberontak, tetapi dengan hormat, hubungan sosial tetap berjalan,” terangnya.

Kepala Suku Besar Wate Kabupaten Nabire, Alek Raiki menambahkan hal tersebut telah tertuang di dalam 10 poin program pokok Badan Musyawarah Adat (BMA) yang akan dilakukan selama kepemimpinannya.

Terkait itu Raiki meminta kepada kelima suku lainnya, agar sependapat dan mendukung apa yang sudah disepakati bersama dengan warganya. Karena hal ini telah didukung oleh DAP wilayah Nabire.

“Kami ingin mengembalikan apa yang selama ini keliru di masyarakat dan harus didukung oleh lima suku di pesisir,” katanya.

Peiter Erari, Asisten III, setda Nabire menambahan, sebagai anak asli Nabire, keenam suku yang ada I wilayah pesisir tidak bisa masuk dan disamakan dengan wilayah Meepago. dan hal ini menjadi ini adalah pekerjaan rumah yang harus dibereskan.

“Sebab jika meninjau kembali keputusan yang di buat Suku Wate, maka benar adat istiadat budaya kita beda dan perlu untuk diluruskan,” katanya.

“Tentu kita tetap menghargai dan mengedepankan persaudaraan yang selama ini sudah dibangun,” ujarnya.(*)

¶ Hukum Adat (39) ‡ Dewan Adat Papua (3), Konfederasi Suku, Mee-Pago, Nabire (2), Wilayah Adat Papua (5), Wilayah Adat Saireri (2)  ¶  post |  Length: [296] words. [entry-last-modified]

Walhi Papua dan Papua Barat: Stop sawit demi pelestarian hutan Papua

Published on September 13, 2018 © by admin [119  entries]  ± Views 0 § Leave a comment

Alex Waisimon saat diwawancarai di Manila, Filipina - Jubi/http://ppid.menlhk.go.id

Alex Waisimon saat diwawancarai di Manila, Filipina - Jubi/http://ppid.menlhk.go.idkETUA Walhi Papua dan Papua Barat, Aies Rumbekwan, menilai penghargaan yang diterima Alex Waisimon sebagai pahlawan keanekaragaman hayati Asean dari Indonesia patut mendapat perhatian dari semua pihak.

“Hanya saja jangan memberikan penghargaan tetapi terus mengeluarkan izin bagi perkebunan kelapa sawit di Papua. Pasalnya, Alex Waisimon menjaga pohon dan hutan sebagai rumah tinggal bagi burung Cenderawasih dan habitat hidup lainnya,” kata Rumbekwan saat dihubungi Jubi, Rabu (12/9/2018).

Dia mendapatkan dengan adanya pelestarian dan larangan bagi masuknya investasi perkebunan kelapa sawit yang mengubah hutan menjadi kebun bisa memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk mengembangkan wilayah hutannya sebagai areal ekowisata.

“Kita berharap ada banyak Alex Waisimon lainnya di seluruh Papua untuk tetap menjaga dan melestarikan alamnya dengan berbagai jenis flora dan faunanya,” kata Rumbekwan, seraya menambahkan kebijakan pemerintah untuk tidak lagi membuka hutan baru bagi investasi justru akan memberikan kesempatan kepada masyarakat adat untuk secara arif memanfaatkan potensi alamnya.

Sementara itu, pemerhati lingkungan dan peneliti kayu sowang dari Fakultas MIPA jurusan biologi Universitas Cenderawasih, Sri Wilujeng, PhD mengatakan upaya yang dilakukan Alex Waisimon patut mendapat dukungan dari semua pihak karena tak bisa berjalan sendiri-sendiri.

“Apalagi di Papua ini keanekaragaman hayatinya sangat tinggi tetapi belum semua yang terindentifikasi nama-nama ilmiahnya dan masih menggunakan nama-nama lokal Papua. Celakanya, di Papua pembangunan terus digalakkan sehingga dikhawatirkan keanekaragaman hayati yang belum terindentifikasi akan punah,” katanya.

Peneliti kayu sowang itu mengingatkan agar ada keseimbangan dalam pembangunan yang begitu pesat  dan tidak mampu beradaptasi serta bukan hanya Alex Waisimon sendiri yang menjaga tetapi semua pihak termasuk mereka yang datang dari luar Papua.

“Saya salut dengan penghargaan Pak Alex dan berharap agar banyak lagi penyelamat lingkungan di Papua seperti Pak Alex. Saya harap ada Alex-alex lainnya agar hutan dan mikroorganisme di Papua selamat,” katanya saat dihubungi Jubi, Rabu (12/9/2018) malam.

Sri Wilujeng yang juga akademisi pada program studi Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti, Bandung, Jawa Barat, mengatakan kalau pohon bagi burung adalah tempat bersarang dan bermain bagi mereka.

“Salut untuk Pak Alex Waisimon,” kata peneliti kayu sowang, saat masih menjadi  staf pengajar program studi Pendidikan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (Mipa) Universitas Cenderawasih, Papua.

Pahlawan keanekaragaman hayati ASEAN

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rabu, 5 September 2018, dalam press release-nya yang diterima Jubi menyebutkan gelar Pahlawan Keanekaragaman Hayati ASEAN (The Asean Biodiversity Heroes/ABH) dari ASEAN Center for Biodiversity (ACB) ditujukan bagi seseorang dari negara-negara ASEAN yang telah berjasa dalam upaya konservasi dan advokasi keanekaragaman hayati di negara mereka masing-masing.

Para pahlawan akan menjadi wajah konservasi keanekaragaman hayati di kawasan ASEAN dan individu yang dapat menginspirasi orang lain untuk terlibat melestarikan keanekaragaman hayati di lingkungan mereka sendiri.

Alex Waisimon asal Papua - Indonesia adalah satu dari 10 The Asean Biodiversity Heroes. Pria enam puluh tahun ini telah berkontribusi penting bagi kampung halamannya di Rhepang Muaif Unurum, Distrik Guay Nimbokrang, Kabupaten Jayapura dalam melindungi hutan, melestarikan burung Cenderawasih, sekaligus berperan meningkatkan ekonomi masyarakat melalui program ekowisata bird watching.

“Indonesia sesungguhnya negara yang kaya akan keanekaragaman hayati. Sekitar 750 species burung ada di Papua. Selain itu, Indonesia juga punya local knowledge, di mana masyarakat adat adalah kekayaan bangsa,” ungkap Alex, saat memberikan testimoni pada acara Asean Biodiversity Heroes Regional Forum di Manila, Filipina.

Daerah Rhepang Muaif tempat Alex tinggal, merupakan kawasan hutan yang menjadi rumah bagi 84 spesies burung dari 31 famili. Bahkan dikategorikan sebagai Daerah Burung Penting karena menyediakan perlindungan bagi lima spesies yang terancam punah termasuk Casuarius Unappendiculatus, Harpyopsis Novaeguineae, Goura Victoria, Psittaculirostris Salvadorii, dan Epimachus Bruijnii. Tempat ini juga populer sebagai rumah burung cenderawasih. Enam spesies burung cenderawasih dari keluarga Paradisaeidae dapat ditemukan di daerah ini.

Berbagi cerita konservasi dengan siswa dari berbagai lembaga akademis di Filipina, profesional muda, media, dan peserta dari negara anggota ASEAN, Alex mengatakan dengan berbekal pengalaman kerja di Red Cross Asia Pacific dan International Labour Organization, sebagai koki di Restoran Italia di Hamburg, dan pengalamannya menjadi pemandu wisata di Bali, Alex memutuskan untuk kembali ke Papua pada tahun 2014. Dia berupaya mengejar mimpinya untuk menyediakan sumber mata pencaharian bagi masyarakatnya.

Penerima Kalpataru tahun 2017 ini mengembangkan program ekowisata berkelanjutan yang menampilkan burung Cenderawasih surga. Bagi Alex, kunci ekowisata adalah memetik manfaat dari hutan tanpa merusaknya dan memastikan bahwa generasi mendatang masih akan menikmati kesempatan untuk melihat hutan dan keanekaragaman hayati yang dilindunginya.

Meskipun di awal ada penolakan dari penduduk desa, Alex tetap mengejar program ekowisata berkelanjutannya. Pada bulan Agustus 2016, Alex berhasil meyakinkan dan menerima dukungan dari sembilan kepala suku untuk mengelola hutan seluas 19.000 hektar sebagai daerah ekowisata yang berkelanjutan, dan kemudian bertambah menjadi 98.000 hektar.

“Ada sembilan kepala suku yang disatukan. Saya dekati mereka dengan filosopi, tidak boleh kasih habis, ambil lain tinggalkan yang lain, untuk anak cucu,” cerita Alex.

Selain Alex Waisimon, The Asean Biodiversity Heroes 2017 adalah: (1) Eyad Samhan dari Brunei Darussalam; (2) Sophea Chinn dari Kamboja; (3) Nitsavanh Louangkhot Pravongviengkham dari Laos; (4) Prof. Zakri Abdul Hamid dari Malaysia; (5) Dr. Maung Maung Kyi dari Myanmar; (6) Dr. Angel C. Alcala dari Filipina; (7) Prof. Leo Tan Wee Hin dari Singapura; (8) Dr. Nonn Panitvong dari Thailand; dan (9) Prof. Dr. Dang Huy Huynh dari Vietnam. (*)

Source: http://tabloidjubi.com/

¶ Conservation (10) ‡ Alex Waisimon, Hutan Rakyat (2), kerusakan hutan (2), WALHI (2)  ¶  post |  Length: [892] words. [entry-last-modified]

Mengkonsumsi pangan lokal Papua

Published on September 13, 2018 © by admin [119  entries]  ± Views 0 § Leave a comment

MARIA Walilo mengaku cukup sering membeli bahan makanan lokal di Pasar Youtefa untuk kebutuhan sehari-hari. Ia mengolah bahan tersebut untuk dimakan bersama adiknya yang sama tinggal dengannya di rumah kos.

"Dalam satu minggu saya paling banyak dua sampai tiga kali makan petatas, itupun sudah malas makan nasi lagi," katanya.

Bahkan ia lebih sering lagi belanja bahan lokal jika ada tamu keluarga yang berkunjung. Ia ke pasar membeli sagu, petatas, dan ikan untuk dimasak dan makan bersama.

"Tapi saya lebih senang petatas yang dikirim orang tua dari Wamena, karena rasanya beda dengan di Kota Jayapura sini. Saya makan petatas karena bosan juga tiap hari makan nasi," katanya.

Menurutnya, kualitas gizi pangan lokal tergantung petani yang menjualnya kepada pedagang. Apakah tanaman yang mereka tanam memakai pupuk organik atau tidak, karena akan berdampak kepada kesehatan orang yang mengkonsumsinya.

"Semoga hasil jualan yang pedagang taruh, terutama mama-mama tidak memakai pupuk kimia, tetapi alamiah atau dengan pupuk organik,” katanya.

Pangan lokal daerah di Indonesia sangat banyak, termasuk di Papua. Sebenarnya, berdasarkan penelitian organisasi pangan dunia Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) FAO (Food and Agriculture Organization), sistem pangan masyarakat adat sangat bernutrisi dan lebih sehat. Karena itu PBB ingin menghubungkan isu tersebut kepada hak teritorial, sumber daya, dan hak kultural masyarakat adat.

Pangan lokal yang ada di Papua dan bisa ditemui di pasar tradisional dan modern adalah sagu, petatas (ubi), keladi (bete), singkong, dan sayur-sayuran seperti sayur lilin dan lainnya.

Harganya pun cukup murah. Petatas dan keladi (bete) di Pasar Youtefa misalnya, per tumpuk harganya Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu. Sedangkan di Pasar Hamadi dan pasar baru Sentani Rp 20 ribu, Rp 30 ribu, dan Rp 50 ribu per tumpuk.

Marta Doga, pedagang di Pasar Youtefa, mengatakan petatas dan keladi yang ada di Pasar Youtefa biasanya dibawa dari Arso, Genyem, dan Tanah Hitam Kota Jayapura. Sedangkan di Pasar Hamadi biasanya didatangan dari Sentani, Arso, dan Genyem.

"Ini harga pas di pasar ini, mereka yang datang berbelanja biasanya orang-orang dinas sehabis kantor langsung berbelanja ke pasar," katanya kepada Jubi, Selasa, 11 September 2018.

Peminat pangan lokal tersebut, lanjutnya, tidak saja orang asli Papua, tetapi juga non Papua yang sudah lama tinggal di Papua. Mereka juga sudah terbiasa makan pangan lokal Papua.

Di pasar lama Sentani, para pedagang pangan lokal Papua biasanya mulai berjualan pada pukul 4 sore dan buka hingga pukul 9 malam. Pedagang dan pembeli selalu ramai berjualan dan berbelanja.

Pasar yang terletak di pinggir bahu jalan ini lebih banyak menjual hasil kebun mama-mama Papua, termasuk hasil tangkapan ikan di Danau Sentani maupun laut.

"Pasar di sini setiap sore sampai malam ramai, ada yang jual hasil kebun seperti ubi, keladi, singkong, dan pisang, serta tangkapan ikan mujair danau, ikan lohan, ekor kuning, dan kepiting," ujar Mama Rosita, yang juga pedagang ikan mujair di pasar tersebut.

Menurut Rosita, meski pasar berada di bahu jalan selalu banyak pembeli yang datang berbelanja untuk kebutuhan rumah tangga. Di sini lebih banyak mama-mama Papua yang berjualan, baik dari pesisir maupun mama-mama dari gunung.

Sementara, Mama Ana Sukoy, penjual sagu di Pasar Hamadi, mengatakan pembeli sagu di tempatnya paling sering adalah orang asli Papua, terutama mereka yang tinggal di kota.

"Ada juga pembeli non Papua, namun mereka itu dari warung atau restauran yang menyediakan masakan papeda, begitu juga dengan yang membeli keladi," katanya.

Ia menjual sagu per tumpuk mulai Rp 10 ribu hingga Rp 20 ribu. Sedangkan harga sagu  per tumang Rp 300 ribu untuk ukuran sak beras yang kecil dan ukuran besar besar Rp 500 ribu.

Dari pantauan Jubi, jumlah pedagang keladi di Pasar Youtefa ada 20 orang, penjual singkong 11 orang, penjual ubi 15 orang, dan penjual sagu 13 orang. Sedangkan di Pasar Hamadi penjual keladi 17 orang, singkong 8 orang, ubi (petatas) 18 orang, dan sagu 15 orang. Itu belum termasuk pedagang musiman yang datang berjualan ketika ad hasil panen.

Pedagang sagu di Pasar Hamadi masih didominasi orang asli Papua. Ini berbeda dengan Pasar Youtefa di mana penjualnya sebagian adalah non Papua. Bahkan orang asli Papua yang menjual sagu hanya lima orang. Itupun mereka muncul ketika ada hasil panen. (*)

Source: http://tabloidjubi.com/

¶ Conservation (10) ‡ eksistensi Masyarakat Adat (2), konservasi tradisi, makanan lokal  ¶  post |  Length: [679] words. [entry-last-modified]

Pemerintah dukung hak komunal masyarakat adat

Published on September 11, 2018 © by admin [119  entries]  ± Views 23 § Leave a comment

TabloudJibi - PEMERINTAH Kabupaten Jayapura mendukung hak komunal masyarakat adat dan hak-hak dasar lainnya. Dukungan ini dilakukan dengan membentuk kampung adat.

http://tabloidjubi.com/artikel-19349-pemerintah-dukung-hak-komunal-masyarakat-adat.html

http://tabloidjubi.com/artikel-19349-pemerintah-dukung-hak-komunal-masyarakat-adat.html

Dalam satu kampung terdiri dari marga-marga atau fam, sebagai komunitas terkecil dalam masyarakat. Kampung sebagai bagian terkuat sehingga harus diperkuat karena menyangkut sistem dan kekuasaan yang dipegang oleh tetua adat (ondoafi atau iram-tekay), dengan perangkat-perangkatnya.

Hingga kini ada beberapa dewan adat suku yang sudah dipetakan. Pemetaan wilayah adat akan terus dilakukan. Pemerintah setempat pun membentuk gugus tugas untuk mempercepat proses pemetaan tersebut.

Rabu pekan lalu dilakukan lokakarya atau finalisasi tim gugus tugas pemetaan yang akan diketuai Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Jayapura, Yerry F. Dien.

“Ini terkait dengan upaya-upaya perkembagan masyarakat adat yang ada di Kabupaten Jayapura, untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan, khususnya kelembagaan pemberdayaan adat terhadap seluru sumber-sumber masyarakat adat di atas tanah leluhurnya,” kata Yerry Dien kepada Jubi di Sentani, Rabu, 5 September 2018.

Pada 24 Oktober 2014 Pemerintah Kabupaten Jayapura berkomitmen, telah mengakui lembaga dan swadaya masyarakat adat, dan kampung itu dengan upaya-upaya kebangkitan masyarakat adat.

“Upaya kebangkitan masyarakat ada ini sudah berjalan empat tahun dan akan memasuki tahun kelima, dengan implementasikan sembilan suku adat, Buyaka, Demutru, Elsam, Oktim, Yoari, Yawari, Imbi Numbai, Yana Yosu, dan Moi,” katanya.

Sekretaris Dewan Adat Suku (DAS) Sentani Maurits, Friets Felle, dalam Rapat Pembentukan Tim dan Pembagian Gugus Tugas Pemetaan Wilayah Adat Kabupaten Jayapura, Selasa, 21 Agustus 2018 meminta agar 26 kampung di pesisir danau Sentani menjadi kampung adat.

Usulan ini disepakati sebelumnya oleh sejumlah tokoh adat dan kampung.

Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, mengatakan pemetaan wilayah sangat berpengaruh kepada keberlangsungan masyarakat adat itu sendiri. Setiap kampung punya cerita rakyat dan asal-usul, serta batas kampung dan batas marga (hak ulayat).

Antropolog dari Universitas Papua (Unipa) Manokwari, I Ngurah Suryawan, mengatakan pemetaan itu bukan menghindari konflik, tapi menguraikan konflik apa yang sebenarnya terjadi.

Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (PTPPMA) selama ini gencar melakukan pendampingan untuk pemetaan. Mereka bahkan sudah melakukan pemetaan di beberapa DAS, dan akan dilanjutkan dengan pemetaan tingkat kampung.

Namun, penulis buku “Papua VS Papua, Perubahan dan Perpecahan Budaya (2017)” ini berpendapat, di tingkat suku dan kampung lebih kompleks pertarungan kepentingannya. Ada marga-marga yang dianggap menguasai marga-marga kecil.

“Nanti yang (marga) terkecil tersingkirkan oleh marga yang besar. Perhatikan kontestasi (pertarungan) di tingkat kampung. Marga yang besar dan kecil. Dinamika yang terjadi. Pengaruh investasi, dan lain-lain yang mengubah hubungan mereka dengan tanah dan marga lainnya,” kata Ngurah Suryawan.

Ketua I Dewan Adat Suku (DAS) Klesi, Yakob Wadi, mengatakan dengan adanya kampung adat, masyarakat adat dapat memahami batas-batas wilayah dan hak milik mereka.

“Dengan kampung adat ini kita bisa tahu batas-batas dari barat, utara dan selatan itu, agar pembiaran itu tidak terjadi seperti kampung-kampung dinas, orang seenaknya masuk ambil kekayaan hutan tanpa izin,” kata Yakob.

Dengan adanya kampung adat juga warga kampung adat, yang diatur oleh sistem adat setempat, harus menghargainya.

“Kalau dibuat seperti ini, kampung adat, maka ada ruang gerak bagi ondoafi. Jadi, mari kita duduk baru bicara, soal pembagunana itu kami tidak larang tapi harus berjalan sesuai dengan aturan adat,” kata Yakob, Sabtu, 4 Agustus 2018. (*)

¶ Hukum Adat (39) ‡ Dewan Adat, Kabupaten Jayapura (8), kampung adat (5), marga, suku  ¶  post |  Length: [553] words. [entry-last-modified]

‘Decolonizing conservation’: Q&A with PNG marine activist John Aini

Published on September 09, 2018 © by admin [119  entries]  ± Views 0 § Leave a comment

by Basten Gokkon on 12 July 2018 | https://news.mongabay.com/

  • John Aini is a prominent indigenous leader in his native Papua New Guinea who has won multiple awards for his grassroots activism in marine conservation.
  • One of the defining points of his activism is the push to “decolonialize” conservation by engaging local and indigenous communities to a greater degree than typically practiced by large international NGOs.
  • This is the first of Mongabay’s two-part interview with Aini at the recent International Marine Conservation Congress in Malaysia.

KUCHING, Malaysia — In 1993, fisheries scientist John Aini founded the conservation group Ailan Awareness in Papua New Guinea’s New Ireland province to help his community and others nearby reverse declines in the marine life they depend upon. The organization helps communities around the province’s islands develop marine resource management plans that are based on local customs and designed to sustainably improve their livelihoods.

Aini grew up in New Ireland and is a traditional leader of the Malagan culture in the province’s northern region. He has received numerous international awards, including the Seacology Prize in 2012, for his work in marine and fisheries conservation.

The Roviana Solwara Skul, or Saltwater School, is a key project that Ailan Awareness established in 2010 to teach local people about the marine environment, emphasizing both traditional knowledge and Western science. Aini co-founded the school with his brother, Miller Aini, and frequent collaborator Paige West, an anthropologist at Columbia University.

Aini believes equal partnerships between indigenous people and researchers in both designing and implementing projects lead to better conservation results in local communities than do projects heavily controlled by foreign practitioners.

He gave a plenary talk titled “Communities Matter: Decolonizing conservation management” on June 26 at the International Marine Conservation Congress, held in Kuching, Malaysia.

Mongabay caught up with Aini after the talk.

Click here to read Part 2 of Mongabay’s interview with John Aini.

John Aini. Image by Basten Gokkon/Mongabay.

John Aini. Image by Basten Gokkon/Mongabay.

John Aini. Image by Basten Gokkon/Mongabay.

Mongabay: Your speech highlighted this idea of “decolonizing conservation.” Can you explain what exactly that means?

John Aini: Historically, we were colonized. All the ideas about what we do at home in government, [at] NGOs, is like top-down planning. Decolonizing is getting rid of that top-down planning. It is about bottom-up planning. We tell these people who want to help us about what we want, not them telling us that they are going to come and conserve a reef or look after a species or look after an ecosystem. No, they must consult with us.

And this has been going on for so many years. Big [conservation] NGOs continue to come to Papua New Guinea and push or force their agendas, which a lot of times do not go in line with what we think, do not address what we need, the resources that we depend on. Because they don’t know how we live.

I know how we live. I know which species we depend on. Our people know which ecosystem’s being degraded. So, when we say “colonial,” it is the ideas from out there.

What inspired you to the idea of “decolonizing conservation” in Papua New Guinea?

It happened when there were things that I wanted to do, that my NGO wanted to do based on the experiences that we had with our people [and] the resources that we had. And we could not do it because of the agendas of international NGOs. They wanted to [do other] things instead. And so that’s when I said, “No.” This was in 1994, but before that, between 1993-1994, we were just puppets. Being driven around at their will.

How long did it take for your efforts to change the big foreign NGOs’ point of view in conservation efforts in Papua New Guinea?

No, they haven’t changed their minds. They’re still doing it now. I’m lucky, and with the assistance of Columbia University from Professor Paige West, to have found an alternative donor. And that’s the Christensen Fund that have put money into our organization.

How exactly is your organization decolonizing conservation? What steps are you taking?

I’ve basically given up working with big NGOs, basically given up networking with them. And we are doing our own thing now with funding that’s available, and funding from people that understand that we are in touch, that we own the land, the sea, we know the problems of our people better than BINGOs [big international NGOs].

Map shows New Ireland province in Papua New Guinea. Image courtesy of Google Maps.Map shows New Ireland province in Papua New Guinea. Image courtesy of Google Maps.

In achieving conservation results, do you see any difference between efforts led by big foreign NGOs and those led by local people in Papua New Guinea?

We are all achieving the goals. But the point is the sustainability. I will continue to live with my people until I die. They are in and out of our country. We may not be achieving some goals because of the lack of availability in resources. We may not achieve our targets, and they may achieve their targets. The question is its sustainability, and are they addressing the questions or answering our people’s needs. That is the question. Also, they [have] all the money in the world to do what they’re doing, and they are producing results, yes.

I’ve got a ton of people now working, but not for money, not to be paid, but interested in the work that we are doing, and assisting in their own little ways. Some of which we don’t know that they exist, but they are working, and we learn about them some time later or a couple of years later. I’m talking about local New Irelanders, local people from New Hanover.

How about the big foreign NGOs, have they become more interested in the work that you do?

They don’t know what I’m doing. I don’t want to know them now. I’ve given up networking with them.

What do you want them to do differently?

If an NGO comes and takes interest in my NGO and assists us, and they’ll be there advising and say “John, Ailan Awareness, go ahead with your work” — that is what we want them to do. When they say we become partners, we must be partners in reality, we must become partners with all honesty. Not just being partners on paper. Not being on papers to just write a proposal, to be the partner of an indigenous people’s organization in a bid to get funding. But then when the funding comes, we don’t see the funding.

Can you share more how to strengthen that partnership with the NGOs?

They need to understand that we are there at home, and that these are our people, it is our culture, we cry with them, we sleep in their houses, we do customs with them. We will be there forever. They need to understand this. They need to support us in all the ways of supporting us, not just paper support.

Do you think that kind of partnership will achieve better conservation results?

Yes. If we partner, they understand us, they know where we’re coming from, I think all of us will work in harmony … International NGOs and the little indigenous NGOs that we have back at home, we’re all working for the same goals. And the bigger picture is to improve livelihoods.

Can you share an experience in which the big foreign NGOs try to do a project, but it clashes with the traditions and cultures of local people in Papua New Guinea?

There is an example, not in New Ireland, but in the country, where this big NGO went in and promised our people about income and benefits from their conservation work, ecotourism projects that never panned out. It never came about, so the people got frustrated … This is the Crater Mountain Conservation project.

What made the project not work out?

Because there was a clash between the big NGO and the indigenous people, what the big NGO promised them, in terms of economic returns and in terms of tourism projects. And the people just heard about them. But nothing tangible, they [local people] did not witness anything about all the talk [of] them getting income from having tourism projects. Nothing.

Can you share a project within your NGO that’s fully run by local people but receives support from foreign organizations?

The Malagan Project is one. [Editor’s note: This project teaches about the connection between conservation and Malagan cultural ceremonies through traditional carvings.] The people are in charge of it. We only get assistance in funding [for] tools, but we do our own work. There are conservation and management areas around New Ireland, around New Hanover, and they [local people] are doing them themselves. We’ve got a site that we’re working on, people come and see, and they go back and do their own thing.

That is why a lot of the conservation management areas around New Hanover … I have not worked with them to write up management plans. I don’t want to institutionalize these areas. I let them do it as long as it is … producing results. Like more fish are coming, people are not throwing rubbish in the sea.

You know, we don’t talk about big things. We talk about little things, like poisoning the reefs, throwing garbage at sea. We cannot achieve anything without the help of the local people, without the understanding of the local people. Even [though] I’m a local, I still face obstacles in some of the communities. Because our people are not exposed to so many things, like they have not gone out, they have not witnessed destruction of vast mangrove forests, of vast forests, or destruction in the oceans.

They’ve lived with these things for so long. And a little damage used to not matter to them. But now we talked [them] into understanding these things because the population is growing. If we continue to do the little things that we are not supposed to be doing now, for example throwing plastics at sea, it will have an impact.

John Aini delivers his plenary talk on June 26 at the International Marine Conservation Congress, held in Kuching, Malaysia. Image by Basten Gokken/ Mongabay.

John Aini delivers his plenary talk on June 26 at the International Marine Conservation Congress, held in Kuching, Malaysia. Image by Basten Gokkon/Mongabay.

Is there any tradition or culture that foreign NGOs often fail to understand and that hampers their conservation work?

Well, they don’t understand that we have sacred places. The sacred places and spiritual places contributed to resource management and conservation. Now they go and dive in those areas. Or in the forests where some places are off limits. They don’t respect it. They are demeaning the power and value of the sacred places we have.

Do you think this type of colonial conservation also happens elsewhere in the world?

I think so. I’m meeting a lot of people that are talking about it. They are talking about foreign agendas driven by international governance, international scholars.

What kind of agendas?

Like conservation in Papua New Guinea and in New Ireland must be focused on species that support livelihoods. [A] big NGO comes to work and conserve … a butterflyfish, but how does a butterflyfish support our livelihoods? But then, understanding science, butterflyfish helps the underwater ecosystem. There are some things that these people come and try to conserve, try to create marine boundaries to save them, that do not support our livelihoods.

So there’s a disconnect between what they try to do and what the local people actually need?

Yes. You cannot come and do research and do conservation work on something in my area that does not support me, that I don’t eat from. If you come to help me conserve emperors [fish], trochus shells, sea cucumber, then yes, these are the resources that we benefit from, that we get money from.

Marine life in Papua New Guinea. Image by martinnemo via Flickr (CC BY 2.0).Marine life in Papua New Guinea. Image by martinnemo via Flickr (CC BY 2.0).

Have you ever experienced a situation in which foreign conservation workers come for a short period of time and then they think that they know about Papua New Guinea?

I have witnessed a lot [of] this. I can give you one example. Two scientists from Australia come to New Ireland to study sharks and they study for three days and go back and think they know all about sharks in New Ireland, and go and write about it. That is bullshit. How can you learn about sharks in three days?

Do you also see a form of colonialism in the research arena?

We don’t get attributions, we don’t get acknowledged. When they come, they don’t see us as guardians of these things, they don’t see us as we have been there and we know a lot more than you scientists. The cultures, we know where the species are and we know when the species are coming out to breed or where the species stays. They just think that we are stupid and common … we don’t speak the right type of English, write papers, we have not completed degrees. But we have been educated to a level where we know what is happening. We can be on the same level with them. A lot of them come, and blah blah blah, and they go and do what they want to do.

However, I don’t care if they don’t acknowledge me in scientific papers. I don’t care … as long as another reef is saved, as long as the seagrass is healthy, as long as there is fish for tomorrow. As long as they help us in whatever expertise they have, we have got the local knowledge, and together we must work. They have come all the [way] from up there … and I believe they have interests in us, not just come and spend three days and tell the world that you know all about sharks.

Can you tell us the story behind Saltwater School?

The idea came about as [my brother Miller Aini and I] were coming back from an awareness campaign. And we ran short of fuel. I was funding it from the salary that I got from fisheries [ministry] when I was working there. And we ran short of fuel and the arguments started.

Like, my brother said “John you should’ve bought more petrol to take us from this point to this point, now look at us, now we are going to paddle,” and it was a long way to paddle back home. And I was just sitting down, and then the swearing started. He was very cross, I was cross. There was nearly an exchange of punches. And then we quieted down on the boat in the ocean, and then we started talking, and I said, “In order for us not to experience this experience, drifting out at sea, let’s build a school.”

So the idea came from that. Instead of us drifting out at sea, let them come to us and [we’ll] teach them scientific and cultural knowledge about the sea. And then we use the metaphor, we won’t let them drift out at sea, we won’t let our people drift out to sea. We must build this school, so that they know the importance of marine management and marine conservation. So it was a fight … that built the school. And with the assistance of these people, the anthropologists, the archaeologists, Paige, and those guys, out of our private [salaries].

Is that the kind of partnership you’d like to see more of in Papua New Guinea? Local people coming up with ideas and foreigners assisting in making them happen?

Yes. But I don’t want to talk yet about all of Papua New Guinea. I start worrying about my little village, and then work our way up.

Do you think indigenous people can spearhead conservation work across the nation in the future?

I do, but starting from your roots. That can’t be done in a place like Papua New Guinea, so many ethnic groups, 10 million languages, different cultures and customs. I think we need to start small. I go back to my province, to my village, to my island and slowly work the way up. Because if I start to worry about the country now, my God, it is just hard. I’m different [from] some guy from 20 kilometers away, and they speak a different language, and is very different from someone from the highlands of Papua New Guinea, who are so aggressive and huge and have big beards. I’m going to run away if I see them.

Yes, when we move slowly all of our forests will probably be gone and our lands will be stolen from us, or our gold will be taken away. But at least we will have some of our land without being destroyed.

Marine life in Papua New Guinea. Image by Anderson Smith2010 via Flickr (CC BY 2.0).Marine life in Papua New Guinea. Image by Anderson Smith2010 via Flickr (CC BY 2.0).

Editor’s note: This interview has been lightly edited for clarity and length.

FEEDBACK: Use this form to send a message to the editor of this post. If you want to post a public comment, you can do that at the bottom of the page.

¶ Conservation (10) ‡ conservation, decolonization, indigenous wisdom (2), New Guinea (2), Papua New Guinea (3)  ¶  post |  Length: [4135] words. [entry-last-modified]

Bali, Papua, dan Papua Barat, pilot project penyusunan regulasi tanah ulayat

Published on September 06, 2018 © by admin [119  entries]  ± Views 3 § Leave a comment

Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, saat foto bersama dengan pimpinan dan pemateri dari Kementerian Agraria – Jubi/IST

Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, saat foto bersama dengan pimpinan dan pemateri dari Kementerian Agraria – Jubi/IST

Bali, Jubi – Kementerian Agraria Republik Indonesia mensosialisasikan Peraturan Pemerintah tentang Tanah Ulayat, di Provinsi Bali, 3-5 September 2018, dengan melibatkan tiga provinsi sebagai pilot project yakni Bali, Papua, dan Papua Barat.

Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, yang turut hadir dalam kegiatan sosialisasi tersebut mengatakan kesimpulan dalam kegiatan sosialisai tersebut sementara dipending untuk merumuskan rancangan peraturan tentang tanah ulayat di daerah.

Menurut Bupati Jayapura, peraturan yang akan dibuat tentang tanah ulayat harus bersinergi dengan kepemilikan tanah itu sendiri.

“Papua dan Papua Barat tidak mengenal yang namanya tanah negara. Karena tanah ulayat di Papua dan Papua Barat sesungguhnya adalah milik masyarakat adat,” jelas Bupati, saat ditemui di Stadion Perkanti Jimbaran Kabupaten Badung Provinsi Bali, usai memberikan dukungan kepada tim Kenambai Umbai yang berlaga pada Menpora Cup Seri Nasional, Rabu (5/9/2018).

Dikatakan, tanah di Papua dan khususnya di Kabupaten Jayapura, sepenuhnya dikelola  masyarakat adat. Sehingga perlu ada pembicaraan dan kesepakatan di sana untuk merumuskan peraturan yang akan dibuat.

“Regulasi secara nasional yang disusun oleh Kementerian Agraria ini seharusnya mengacu dari atauran-aturan lokal yang masih berlaku terkait kepemilikan hak ulayat,” ujarnya.

Hal senada disampikan Koordinator Dewan Adat Suku (DAS) Kabupaten Jayapura, Daniel Toto. Untuk mendapatkan satu rumusan tentang peraturan tanah ulayat, pemiliknya harus dilibatkan.

“Ini sesuatu yang urgen ketika pemerintah daerah tidak melibatkan pemilik hak ulayat dalam penyusunan peraturan tentang tanah ulayat. Oleh sebab itu saya juga sepakat dengan Bupati Jayapura untuk peraturan ini dipending dulu sampai ada pembicaraan dengan pemilik hak ulayat di daerah masing-masing,” katanya. (*)

¶ Uncategorized (28) ‡ Dewan Adat Suku, hak ulayat (2), Kabupaten Jayapura (8), Provinsi Bali (2), Provinsi Papua (3), Provinsi Papua Barat (3)  ¶  post |  Length: [313] words. [entry-last-modified]

Jica buys two kayaks to help conservation project monitor mangroves

Published on September 05, 2018 © by admin [119  entries]  ± Views 13 § Leave a comment

Jica buys two kayaks to help conservation project monitor mangroves

Jica buys two kayaks to help conservation project monitor mangroves

THE Japanese International Cooperation Agency (Jica) has purchased two new kayaks for the Bootless Bay marine conservation project in the National Capital District and Central for monitoring and surveillance of mangroves and to trial ecotourism activities.

The two kayak and accessories cost K8797 and were handed to the project team in Port Moresby.

Witnesses included partners and stakeholders in the project including the Environment Protection Authority (Cepa), the University of PNG, the Central Papua Conference of the Seventh-day Adventist Church, Jica and representatives from local communities living along the Bootless Bay area.

Manager for the marine protected area with Cepa, Bernard Suruman, said Cepa was partnering Jica to implement a pilot biodiversity conservation. “The kayak were bought because some creeks and waterways in the mangrove areas are very shallow for boats to travel.

“Kayak is very flexible, easy to use without the need for fuel or skipper to monitor the mangrove areas that are protected under this pilot project because there some intruders cutting down mangroves at times.”

Suruman said the kayaks would be trailed for ecotourism in which arrangements would be made where residents of Port Moresby could go and pay some fees to use the kayaks paddle around the protected areas for pleasure and recreation.

“Jica is giving us two so we are hoping that more kayaks will be bought under this project to assist in the ecotourism aspect of the project,” Suruman said. Jica’s natural resource management adviser for marine environment Dr Yukio Nagahama said Jica was pleased to support PNG government.

Source: https://www.thenational.com.pg

¶ Hukum Alam (37) ‡ Konservasi (7)  ¶  post |  Length: [318] words. [entry-last-modified]

« Previous 1 2 3 … 12 Next »

Calendar

December 2019
MonTueWedThuFriSatSun
« May  
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
3031 

Pages

  • About SAPA
    • Background
    • Core Programmes of SAPA
    • Core Values & Programmes
    • SAPA Core Values
    • Surat Permohonan SAPA ke KesbangPol Kota Jayapura
    • The Objectives of SAPA
  • All About
  • Contact
  • Customary Laws
  • Font Page
  • Google Search
  • Home
  • Hukum Positiv
    • Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
    • Macam-macam sumber hukum formal
    • Tujuan Hukum
  • Laws of the Nature
    • Hukum Alam
    • Tujuan Hukum Alam
  • New Guinea
    •  Kabupaten/ Kota se – Tanah Papua
    • Orang Papua
    • Wilayah Adat Papua
    • Wilayah Budaya Di Tanah Papua
  • News
  • News Home
  • Organnisation
  • PMNews Front Page
  • Sample Page
  • Stores
  • Work Programme

About

PAPUA.pw is the official site of the Friends of Papua Nature Institute (Lembaga Sahabat Alam Papua - SAPA) established in 2015 by various NGO leaders in West Papua in order to promote Customary Laws written and recognised by modern governments.

  • Monthly
  • Yearly
  • Daily
  • May 2019
  • February 2019
  • December 2018
  • October 2018
  • September 2018
  • August 2018
  • June 2018
  • May 2018
  • March 2018
  • February 2018
  • 2019
  • 2018
  • 2017
  • 2016
  • 2015
  • 2014
  • 2009
  • May 30, 2019
  • May 11, 2019
  • May 10, 2019
  • February 14, 2019
  • February 7, 2019
  • December 21, 2018
  • December 14, 2018
  • October 22, 2018
  • October 18, 2018
  • September 27, 2018

Recent tags

  • RSS  Tanah Adat  ( 5 )
  • RSS  Tanah Negara  ( 1 )
  • RSS  Mahkamah Konstitusi  ( 1 )
  • RSS  Orang Asli Papua  ( 4 )
  • RSS  Teori Hukum Adat  ( 4 )
  • RSS  Konservasi Alam  ( 3 )
  • RSS  Tanah Leluhur  ( 2 )
  • RSS  Hutan Papua  ( 5 )

All Updates RSS

  • Top Tags
  • Top Clicks
  • Top Topics
[+] Most Popular Topics

    » Hukum Positiv

  • Pemerintah Bahas Penerapan Kebijakan Satu Peta
  • Polda Papua menang atas sengketa tanah sekitar Bandara Sentani
  • Perdasus Miras Masuk Pembahasan Sidang DPRP
  • Kebakaran Hutan : Aktivis Lingkungan Menuding, Korindo Membantah
  • Dishut Curiga Kayu Soang Diselundupkan Ke Luar Papua

    » Sahabat Alam Papua

  • SAPA Core Values
  • Core Programmes of SAPA
  • The Objectives of SAPA
  • All About
  • Hukum Alam Menurut Slogan “Yayasan Sahabat Alam Papua”

    » pemetaan wilayah adat

  • DPMK Provinsi Latih 45 Orang Untuk Pemetaan Parsitipatif Masyarakat Adat
  • Pemetaan partisipatif di Tanah Tabi (3)
  • Pemetaan partisipatif di Tanah Tabi (2)
  • Pemkab Jayapura bentuk gugus tugas pemetaan wilayah adat
  • Hidupkan kembali pemerintahan adat

    » Kabupaten Jayapura

  • Pemerintah dukung hak komunal masyarakat adat
  • Bali, Papua, dan Papua Barat, pilot project penyusunan regulasi tanah ulayat
  • DPMK Provinsi Latih 45 Orang Untuk Pemetaan Parsitipatif Masyarakat Adat
  • Pemetaan partisipatif di Tanah Tabi (3)
  • DAS Sentani minta 26 kampung menjadi kampung adat

    » Hukum Keesaan Ilahi

  • Dosa Menurut Hukum Ilahi ialah Hubungan Yang Putus
  • All About
  • Kehidupan di Bumi dan hubungannya dengan reinkarnasi ( reinkarnasi 2 )
  • Penyebab Terjadinya Masalah Dalam Kehidupan Part 1
  • Pencerahan Spiritual : Sebuah perjalanan kedalam diri manusia 3

    » Konservasi

  • Hukum adat Arfak dan Wondama untuk melestarikan kearifan lokal
  • Jica buys two kayaks to help conservation project monitor mangroves
  • Perlindungan Cenderawasih butuh perda
  • Gubernur Larang Warga Jual Cenderawasih Asli
  • Gubernur Minta Dukungan Semua Pihak Dalam Pelaksanaan ICBE

    » Pencerahan Spiritual

  • Penyebab Terjadinya Masalah Dalam Kehidupan Part 2
  • Penyebab Terjadinya Masalah Dalam Kehidupan Part 1
  • Pencerahan Spiritual : Sebuah perjalanan kedalam diri manusia 3
  • Pencerahan Spiritual : Sebuah perjalanan kedalam diri manusia 2
  • Pencerahan Spiritual : Sebuah perjalanan kedalam diri manusia 1

    » Hutan Papua

  • Hutan sagu yang sedang terancam: Sebuah potret konversi hutan dan lahan di Sentani
  • Sejarah penguasaan tanah Orang Asli Papua
  • Dushut sebut paradoks hutan Papua
  • Walhi Papua: Jangan beri rekomendasi sebelum ada Perdasus perlindungan hutan Papua
  • Permohonan agar Jokowi Segera Menyelamatkan Eksplorasi Liar di Hutan Papua

    » perjalanan kedalam diri

  • Kehidupan di Bumi dan hubungannya dengan reinkarnasi ( reinkarnasi 2 )
  • Apakah yang dimaksud dengan Reinkarnasi ? (Reinkarnasi 1)
  • Pencerahan Spiritual : Sebuah perjalanan kedalam diri manusia 3
  • Pencerahan Spiritual : Sebuah perjalanan kedalam diri manusia 2
  • Pencerahan Spiritual : Sebuah perjalanan kedalam diri manusia 1

    » Teori Hukum Alam

  • Tabalong Patok Batas Enclave Kawasan Hutan
  • Sekilas Pengertian Hukum Alam dan Hukum Positif
  • Hukum Alam dan Hukum Positiv
  • Gudang Ilmu Hukum: Hukum Alam
  • Hukum Alam dan Hukum Positif

[+] Popular Post

Hello world! Inilah Sahabat Alam Papua

December 28, 2015

Success attracts success and failure attracts failure because of the law of harmonious attraction

December 11, 2016
Ketua STIH Manokwari, Filep Wamafma saat memberikan buku HUkum Adat Arfak dan Wondama kepada Dewan Adat dan perwakilan MRP Papua Barat - Jubi/IST

Hukum adat Arfak dan Wondama untuk melestarikan kearifan lokal

December 21, 2018

The vast majority of animals in the wildlife trade are not protected

December 14, 2018

 [+] Popular Categories

  • Hukum Adat (39)
  • Hukum Alam (37)
  • Uncategorized (28)
  • Hukum Ilahi (12)
  • Conservation (10)
  • The Nature (2)
  • Ilmu Alam (2)

    » Conservation

Warga masyarakat yang tinggal di bantaran sungai, melihat rumah-rumah mereka yang hilang dibawa banjir bandang – Jubi/Engel Wally

Kawasan Robonghollo segera ditutup dari aktivitas masyarakat

May 11, 2019
Sentani, Jubi – Status Gunung Robonghollo telah ditetapkan sebagai bencana permanen oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jayapura, menyusul banjir bandang yang menerjang Sentani, 16 Maret silam. Sejumlah kepala suku dan ondofolo minta Pemkab Jayapura secepatnya melakukan sosialisasi terkait pemindahan warga…
  • Gubernur Enembe : Papua akan jadi tuan rumah Green Clim..., 7 months ago
  • Canada’s new Indigenous Protected Area heralds new er..., 1 year ago
  • Masyarakat adat dan LSM kaji RTRW Papua, 1 year ago

    » RSS Adat-Alam-BIcara

  • Strong Earthquake Strikes Indonesia, Killing at Least 20 September 26, 2019
    The epicenter of the 6.5-magnitude earthquake was about 23 miles from Ambon, the capital of Maluku Province. A 6.5-magnitude earthquake struck the remote Maluku Islands in eastern Indonesia on Thursday…
    alamadat
  • Empat Jenazah Penumpang dan Crew Rimbun Air Dievakuasi September 26, 2019
    JAYAPURA (PT) – Tim gabungan Basarnas dan TNI-Polri berhasil mengevakuasi empat jenazah penumpang dan crew pesawat Rimbun Air jenis Twin Otter PK-CDC yang jatuh di Pegunungan Distrik Hoya, Kabupaten Mimika,…
    alamadat
  • MRP: Masyarakat adat jangan jual tanah, kontrakkan saja August 11, 2019
    Jayapura, Jubi – Majelis Rakyat Papua atau MRP menghimbau seluruh masyarakat adat di tanah Papua untuk tidak menjual tanah kepada siapapun, termasuk pemerintah. Masyarakat adat harus berupaya mempertahankan hak ulayat mereka,…
    alamadat
  • PNG larang kantong plastik mulai November August 8, 2019
    Reporter: Elisabeth Giay Port Moresby, Jubi – Menteri Lingkungan Hidup, Konservasi, dan Perubahan Iklim Papua Nugini, Geoffrey Kama, ingin membuat larangan langsung pada pembuatan, impor, dan penggunaan kantong belanja plastik sekali pakai…
    alamadat
  • Beras ancaman serius bagi kebiasaan Suku Dani August 6, 2019
    Jayapura, Jubi – Hadirnya padi ternyata menjadi ancaman serius bagi adat dan kebiasaan masyarakat di Papua, khususnya di Lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya. Arkeolog dari Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto mengaku khawatir…
    alamadat
  • American Samoa govt to review all land leases July 28, 2019
    The American Samoa Governor has created a Land Assessment Task Force to review all government lands and leases. Lolo Matalasi Moliga said many families were dissatisfied with some land leases…
    alamadat

    » Most

  • View
  • Comment
  • Category
  • Tag
[+] Most Viewed Posts
  • Penyebab Terjadinya Masalah Dalam Kehidupan Part 2 (734)
  • Polisi amankan 106 burung asal Papua di Pelabuhan Tanjung Perak (138)
  • Dosa Menurut Hukum Ilahi ialah Hubungan Yang Putus (131)
[+] Most Commented News
  • Dishut Curiga Kayu Soang Diselundupkan Ke Luar Papua (3)
  • Relevansi Raperdasus Proteksi OAP Ala MRP (1)
  • Hello world! Inilah Sahabat Alam Papua (1)
[+] Most Popular Categories
  • Hukum Adat (39)
  • Hukum Alam (37)
  • Uncategorized (28)
  • Hukum Ilahi (12)
  • Conservation (10)
  • The Nature (2)
  • Ilmu Alam (2)
[+] Most Popular Topics

    » Hukum Positiv

  • Pemerintah Bahas Penerapan Kebijakan Satu Peta
  • Polda Papua menang atas sengketa tanah sekitar Bandara Sentani
  • Perdasus Miras Masuk Pembahasan Sidang DPRP
  • Kebakaran Hutan : Aktivis Lingkungan Menuding, Korindo Membantah
  • Dishut Curiga Kayu Soang Diselundupkan Ke Luar Papua

    » Sahabat Alam Papua

  • SAPA Core Values
  • Core Programmes of SAPA
  • The Objectives of SAPA
  • All About
  • Hukum Alam Menurut Slogan “Yayasan Sahabat Alam Papua”

    » pemetaan wilayah adat

  • DPMK Provinsi Latih 45 Orang Untuk Pemetaan Parsitipatif Masyarakat Adat
  • Pemetaan partisipatif di Tanah Tabi (3)
  • Pemetaan partisipatif di Tanah Tabi (2)
  • Pemkab Jayapura bentuk gugus tugas pemetaan wilayah adat
  • Hidupkan kembali pemerintahan adat

    » Kabupaten Jayapura

  • Pemerintah dukung hak komunal masyarakat adat
  • Bali, Papua, dan Papua Barat, pilot project penyusunan regulasi tanah ulayat
  • DPMK Provinsi Latih 45 Orang Untuk Pemetaan Parsitipatif Masyarakat Adat
  • Pemetaan partisipatif di Tanah Tabi (3)
  • DAS Sentani minta 26 kampung menjadi kampung adat

    » Hukum Keesaan Ilahi

  • Dosa Menurut Hukum Ilahi ialah Hubungan Yang Putus
  • All About
  • Kehidupan di Bumi dan hubungannya dengan reinkarnasi ( reinkarnasi 2 )
  • Penyebab Terjadinya Masalah Dalam Kehidupan Part 1
  • Pencerahan Spiritual : Sebuah perjalanan kedalam diri manusia 3

    » Konservasi

  • Hukum adat Arfak dan Wondama untuk melestarikan kearifan lokal
  • Jica buys two kayaks to help conservation project monitor mangroves
  • Perlindungan Cenderawasih butuh perda
  • Gubernur Larang Warga Jual Cenderawasih Asli
  • Gubernur Minta Dukungan Semua Pihak Dalam Pelaksanaan ICBE

    » Pencerahan Spiritual

  • Penyebab Terjadinya Masalah Dalam Kehidupan Part 2
  • Penyebab Terjadinya Masalah Dalam Kehidupan Part 1
  • Pencerahan Spiritual : Sebuah perjalanan kedalam diri manusia 3
  • Pencerahan Spiritual : Sebuah perjalanan kedalam diri manusia 2
  • Pencerahan Spiritual : Sebuah perjalanan kedalam diri manusia 1

    » Hutan Papua

  • Hutan sagu yang sedang terancam: Sebuah potret konversi hutan dan lahan di Sentani
  • Sejarah penguasaan tanah Orang Asli Papua
  • Dushut sebut paradoks hutan Papua
  • Walhi Papua: Jangan beri rekomendasi sebelum ada Perdasus perlindungan hutan Papua
  • Permohonan agar Jokowi Segera Menyelamatkan Eksplorasi Liar di Hutan Papua

    » perjalanan kedalam diri

  • Kehidupan di Bumi dan hubungannya dengan reinkarnasi ( reinkarnasi 2 )
  • Apakah yang dimaksud dengan Reinkarnasi ? (Reinkarnasi 1)
  • Pencerahan Spiritual : Sebuah perjalanan kedalam diri manusia 3
  • Pencerahan Spiritual : Sebuah perjalanan kedalam diri manusia 2
  • Pencerahan Spiritual : Sebuah perjalanan kedalam diri manusia 1

    » Teori Hukum Alam

  • Tabalong Patok Batas Enclave Kawasan Hutan
  • Sekilas Pengertian Hukum Alam dan Hukum Positif
  • Hukum Alam dan Hukum Positiv
  • Gudang Ilmu Hukum: Hukum Alam
  • Hukum Alam dan Hukum Positif

Home 4
Add "Home 4" Widgets

RSS Melanesian Democracy

  • Hello world! Hello Melanesia! Hello Wantok Bilong Mi Olgeta August 5, 2019
    I dedicate this blog to present two expand and elaborate, to discuss and see how we can further make sense and develop three major ideas from two great leaders of "Mela", "Afrikans" in the world: Nelson Mandela with the Tribal Model of Democracy Bernard Narakobi's "The Melanesian Way", and Father Walter Lini's Melanesian Socialism. What […]
    demos
  • The Confederacy of Tribes August 2, 2019
    Chapter · June 2017 with 3 Reads DOI: 10.1007/978-3-319-51695-0_12, Cite this publication, by Ronald M. Glassman Abstract The level of technology at which tribal societies existed, up to this point in their histories, forced them to separate into smaller bands during most of the year. Tribes wandered over fairly wide areas of subsistence territory. This process was later altered, however, […]
    yumwantok
  • Democracy by Human Society for All Communities of Beings August 1, 2019
    Tribal Democracy is " Democracy by Human Society for All Communities of Beings"
    yumwantok
  • Hello world! Demokrasi Keukuan August 1, 2019
    Welcome to PAPUA is ONE Sites. Pada tanggal 1 Agustus 2019, kami memandang kepada kepulangan Negara Kolonial Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan perintah Panglima Tertinggi Komando Revolusi West Papua (Pangtikor) West Papua Revolutionary Army (WPRA) dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan Republic of West Papua (RWP) 1 Juli 2019. Pada pidato ini Chief General Mathias Wenda […]
    demsuk
  • America Wasn’t Built for Humans September 18, 2017
    Tribalism was an urge our Founding Fathers assumed we could overcome. And so it has become our greatest vulnerability. By Andrew Sullivan From time to time, I’ve wondered what it must be like to live in a truly tribal society. Watching Iraq or Syria these past few years, you get curious about how the collective mind […]
    yumwantok
  • “Earth Democracy” versi Dr. Vandana Shiva dan Demokrasi Kesukuan April 5, 2013
    Source: https://demokrasikesukuan.wordpress.com/ Posted on April 5, 2013 | Tinggalkan komentar English: Vandana Shiva, noted environmentalist in 2007, at Rishikesh, Cropped from Original image at commons, to create a passport size image for Info box in article at wikipedia (Photo credit: Wikipedia) Manusia di era Pascamodern yang memfokuskan diri kepada Mahatma Ghandi dengan perjuangan secara damai dan Nelson Mandela dengan Tribal […]
    yumwantok

Recent Comments

  • admin on Sejarah penguasaan tanah Orang Asli Papua
  • admin on Pelopori Polisi Sahabat Alam, Polda Papua: Mari Jaga Kelestarian Lingkungan
  • admin on Bridging the gap through science
  • admin on 5 Hewan Endemik Khas Papua
  • admin on Menyimak Wilayah Budaya dan Adat di Tanah Papua
EN - 125x125

Newsletter

Spam Blocked

8 spam blocked by Akismet

Copyright © 2009-2019 Sahabat Alam Papua - SAPA.

Powered by WordPress and WP Yahoo! UI Hybrid 1d.

  • PAPUA.WS
  • Iklan Papua
  • PAPUA.Coffee
  • Papua is Me
Google the web    In This Site
the web In This Site